Sabtu, 23 Oktober 2010

Mabrur tanpa berhaji


Banyak kisah sufi tentang Mabrur tanpa berhaji, namun kali ini saya tuliskan kisah seorang tukang cukur rambut yang mendapatkan predikat haji mabrur, tanpa harus pergi ke Baitullah.

Tersebutlah dalam satu kisah sufi, seseorang yang sedang menunaikan ibadah haji terlelap saat wukuf di tengah teriknya matahari di Padang Arafah. Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa Rasulullah Saw.


Mimpi itu memberinya harapan bahwa hajinya mabrur. Bagaimana tidak, sampai-sampai Rasul pun, menemuinya.


Untuk memastikan, ia lalu memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasul, siapakah yang diterima hajinya sebagai haji mabrur?"
Nabi Muhammad Saw, seraya menarik napas dalam-dalam, menjawab, "Tak seorangpun dari jamaah haji ini yang diterima hajinya, kecuali tukang cukur tetanggamu."
Sang haji tersentak kaget. Betapa tidak, ia tahu persis tetangganya itu miskin. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun ia tak mampu menunaikan ibadah haji.

Dengan perasaan sedih dan dada sesak, ia terbangun dari tidurnya. Sepanjang wukuf, ia mengintrospeksi diri, memikirkan dalam-dalam apa arti di mimpi tadi.

Dan sekembali dari Mekah ia segera menemui tetangganya si tukang cukur itu. Ia menceritakan segala pengalamannya selama menunaikan ibadah haji.

Tapi cerita yang paling ingin disampaikan adalah perihal tukang cukur itu sendiri yang disebut-sebut Nabi dalam mimpinya.


Dengan sikap keheranan, Pak Haji bertanya, "Amalan apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda dianggap telah melakukan haji mabrur?"
Tetangganya semula juga bingung. Tapi ia lalu teringat pada kegagalannya berangkat haji tahun ini.

Lalu dia pun bercerita, Sebenarnya, tukang cukur itu telah lama bercita-cita naik haji, seperti tetangganya yang sudah bolak-balik ke Mekah berkali-kali. Untuk itu, bertahun-tahun ia mengumpulkan biaya yang disisihkan dari hasil profesinya.

Dan Alhamdulillah, tabungan itu akhirnya cukup untuk biaya naik haji tahun ini.

Namun, ketika ia bersiap-siap untuk berangat ke Mekah, seorang anak yatim tetangganya tertimpa musibah yang hampir merenggut jiwanya.

Tukang cukur sempat bimbang, antara tetap pergi haji atau menolong si anak yatim. Tapi akhirnya dia berketetapan menolong anak yatim tersebut, dan menyumbangkan hampir seluruh tabungan hajinya untuk membiayai pengobatan anak yatim itu.

Akhirnya, gagallah dia berangkat haji,....namun, pilihannya tidak keliru. Atas niat baik dan keikhlasan serta pengorbanannya, ternyata justru ia memperoleh predikat mabrur tanpa pergi haji.



salam,
HJK

  • Berkunjung ke Baitullah, sudah pasti menjadi cita-cita setiap muslim. Bahkan nikmatnya menjadi tamu Allah kelewat sayang jika tak berangkat haji lagi bila ada rezeki/ uang.
    Namun, Ibnu Abbas berwasiat ; "Membelanjakan hartaku untuk memberi makan satu keluarga muslim selama sebulan, jauh lebih aku sukai ketimbang berhaji berkali-kali " (Abu Nuaim dalam Al Hilyah I).
    Sebenarnya, keinginan untuk berangkat haji lagi, lebih dikarenakan adanya energi positif jika berada di Baitullah. Perasaan khidmad dan khusyuk benar-2 terasa...apalagi semua umat yang berada di Mekkah mempunyai tujuan yang sama.
    Ada juga, yang karena merasa kepergian haji sebelumnya terdapat kekurangan dalam melaksanakan ibadahnya, atau ada alasan lainnya.

    Jika kisah sufi di atas memang benar adanya, Subhanallah....saya pun yakin ketulusannya sebanding dengan haji mabrur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar