Sabtu, 25 September 2010

Meu Jang

Menghadapi demo warga di proyek sih sebenarnya sudah biasa, namun mengahadapi demo dengan para mantan GAM....hmmm...harus hati2 deh bicaranya.

Mereka tidak masalah dengan kami (kontraktor), sebenarnya mereka kesal dengan janji-janji manis terhadap proses ganti rugi akibat hilangnya mata pecaharian warga Lingke, Tibang dan Alue Naga di NAD, pada pelaksanaan Proyek Drainasi kota Aceh. Kontan saja puluhan warga yang terancam akan hilangnya mata pencaharian tersebut, mengancam akan melakukan demo yang besar jika kontraktor melanjutkan pekerjaannya.

Kami tidak ada masalah dengan kontraktor pekerjaan ini, yang kami masalahkan adalah penyelesaian pemerintah kota dalam merespons keinginan warga terhadap pembayaran ganti rugi tersebut. Jika belum ada kepastian yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ganti rugi "Meu Jang", maka dengan terpaksa pekerjaan penimbunan di Krueng Titi Panjang untuk sementara kami hentikan. Sampai masalah ini selesai ", ujar wakil dari pemilik Meu Jang.

Meu Jang adalah jaring/ perangkap ikan yang dipasang secara tradisional oleh warga setempat untuk menjebak ikan yang masuk ke jaring tersebut pada saat air laut mengalami pasang dan surut. Saat air laut pasang, biasanya ikan-ikan tersebut akan terbawa masuk ke arah hulu dari sungai, dan saat air laut mengalami surut, maka ikan-2 tersebut pun akan terseret kembali ke arah hilir dan dengan sendirinya ikan-2 tadi akan terjebak didalam jaring.

Sebenarnya, penggantian 1 buah jaring saja mungkin hanya sekitar Rp. 2 - 3 juta saja, namun karena ini merupakan sumber utama mata pencaharian warga setempat, maka biaya ganti ruginya menjadi sebesar Rp. 350 juta.

Jumlah total Meu Jang yang terdata resmi di Kecamatan ada 7 Meu Jang, sehingga jika di total jendral menjadi Rp. 2,45 Milyard.

Melihat angka yang di klaim kan warga begitu fantastik, tiba2 ada yang meng klaim lagi bahwa masih ada sejumlah 10 Meu Jang lagi yang belum dibebaskan.....(hmmm...pinter juga yaaa, warga dalam mencari kesempatan dalam permasalahan tersebut).

Untung saja, ulah mereka tidak anarkis dan tidak terprovokasi oleh tindakan beberapa orang yang sebenarnya tidak ada urusan dengan meu jang tersebut.

Mereka berujar, " Kami sengaja melakukan demo dengan memakai sarung dan kopiah, karena memang tujuan kami hanya ingin ada perhatian pemerintah terhadap kelanjutan hidup kami ".

Reaksi serupa dilontarkan warga lainnya. “ Kalau memang nggak punya dana untuk membebaskan lahan kita, ya tidak usah dibangun saja proyek ini. Kan tidak ada manfaatnya juga buat kami, malah buat kami susah. Bangun proyek kok bikin susah orang ".

Dia mengatakan awalnya warga sangat mendukung rencana tersebut, namun karena proses ganti rugi yang sampai saat ini masih belum jelas, maka pihaknya kecewa lalu melakukan demo, dan itupun mereka lakukan (sebenarnya) dengan rasa malu.

He he he he....malu kok tetap demo yaaa....nggak apa deh itu hak mereka...yang jelas dari kejadian hari Kamis tgl. 16 September 2010 itu, kamipun segera menarik alat keluar dari lokasi penimbunan tanah dan menghentikan aktifitas di pekerjaan itu.

Niatnya sih pingin nguber progres pekerjaan agar bisa cepet selesai dan segera pulang lagi ke Jakarta...eeh...ternyata adaaaa saja masalah di lapangan.

Sepertinya harus tetap berlatih diri untuk ber " SABAR ".


Salam,
HJK