Minggu, 04 April 2010

Umar bin Abdul Aziz dan Lilin negara

Seandainya mau jujur, seharusnya para pejabat yang baru dilantik itu serempak mengucapkan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun, tanda menerima musibah.



Kenapa ? ya, karena dalam perspektif agama, jabatan itu adalah amanah sekaligus ujian atau musibah. Bukan pemberian yang harus dirayakan dengan euforia tawa bahagia. Selain itu, rekan kerja, sahabat, keluarga, dan sejumlah instansi terkait yang memborong space halaman iklan ucapan selamat di sejumlah media massa, mestinya menyematkan ucapan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun juga, meski mungkin akan dianggap konyol.


--------------------


Hmmm....akhir-akhir ini pemberitaan di Media, diramaikan dengan kasus pajak dan kaitannya. Bagaimana seseorang yang bisa berpenghasilan 25 Milyard, dan kerja baru 5 tahun, siapa saja yang bermain didalamnya ?!?!....saya tidak membahas itu, namun saya jadi teringat kembali cerita tentang " Mangkuk tak beralas " juga " Naga baru ".

Mangkuk tak beralas, menceritakan tentang keinginan manusia yang tidak terbatas, sedangkan Naga baru, menceritakan sifat seseorang jika sudah menduduki suatu posisi pasti lupa diri.




Untuk ke 2 cerita tersebut di atas, lain waktu akan saya tuliskan dalam blog ini sebagai bahan renungan kita semua.


Kali ini, saya ingin menceritakan kisah " Umar bin Abdul Aziz dan Lilin negara ", yang saya dapatkan dari kiriman email teman saya beberapa hari yang lalu.
--------------------
Nah, Siapa yang tak kenal Umar bin Abdul Aziz. Sosok pemimpin adil, arif, lagi berilmu. Banyak kisah teladan yang beliau tinggalkan untuk para peniti kebenaran. Inilah kisah ringkasnya.

Suatu hari datanglah seorang utusan dari salah satu daerah kepada beliau. Utusan itu sampai di depan pintu Umar bin Abdul Aziz dalam keadaan malam menjelang. Setelah mengetuk pintu seorang penjaga menyambutnya. Utusan itu pun mengatakan, "Beritahu Amirul Mukminin bahwa yang datang adalah utusan gubernurnya ". Penjaga itu masuk untuk memberitahu Umar yang hampir saja berangkat tidur. Umar pun duduk dan berkata, "Ijinkan dia masuk".

Utusan itu masuk, dan Umar memerintahkan untuk menyalakan lilin yang besar. Umar bertanya kepada utusan tersebut tentang keadaan penduduk kota, dan kaum muslimin di sana, bagaimana perilaku gubernur, bagaimana harga-harga, bagaimana dengan anak-anak, orang-orang muhajirin dan anshar, para ibnu sabil, orang-orang miskin. Apakah hak mereka sudah ditunaikan ? Apakah ada yang mengadukan ?
Utusan itu pun menyampaikan segala yang diketahuinya tentang kota kepada Umar bin Abdul aziz. Tak ada sesuatu pun yang disembunyikannya.

Semua pertanyaan Umar dijawab lengkap oleh utusan itu. Ketika Semua pertanyaan Umar telah selesai dijawab semua, utusan itu balik bertanya kepada Umar.

"Ya Amirul Mukminin, bagaimana keadaanmu, dirimu, dan badanmu ? Bagaimana keluargamu, seluruh pegawai dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu ? ". Umar pun kemudian dengan serta merta meniup lilin tersebut dan berkata, "Wahai pelayan, nyalakan lampunya !". Lalu dinyalakannlah sebuah lampu kecil yang hampir-hampir tidak bisa menerangi ruangan karena cahayanya yang teramat kecil.

Umar melanjutkan perkataanya, "Sekarang bertanyalah apa yang kamu inginkan". Utusan itu bertanya tentang keadaannya. Umar memberitahukan tentang keadaan dirinya, anak-anaknya, istri, dan keluarganya.

Rupanya utusan itu sangat tertarik dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh Umar, mematikan lilin. Dia bertanya, "Ya Amirul Mukminin, aku melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan". Umar menimpali, "Apa itu ?".
"Engkau mematikan lilin ketika aku menanyakan tentang keadaanmu dan keluargamu ?".

Umar berkata, "Wahai hamba Allah, lilin yang kumatikan itu adalah harta Allah, harta kaum muslimin. Ketika aku bertanya kepadamu tentang urusan mereka maka lilin itu dinyalakan demi kemaslahatan mereka. Begitu kamu membelokkan pembicaraan tentang keluarga dan keadaanku, maka aku pun mematikan lilin milik kaum muslimin."




----------------------------




Nah, itulah sekelumit cerita bagaimana pemimpin-pemimpin kita yang terdahulu.

Tapi, hari ini...Semakin tahun bertambah, dan bumi pun semakin tua, alam semesta pun semakin keras, tak membuat kita sadar/ takut akan dekatnya hari kiamat dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sebagai bekal menuju akhirat.


Sesungguhnya, jabatan yang kita terima saat ini adalah musibah atau justru nikmat ?, nah, itu sangat tergantung dari sudut mana kita memandangnya.


" Hati2- jabatan adalah fitnah "






Salam,


HJK

Jumat, 02 April 2010

Detik Hidup – Iwan Abdulrachman



Detik detik berlalu dalam hidup ini,
Perlahan tapi pasti menuju mati.

Kerap datang rasa takut menyusup dihati,
Takut hidup ini terisi oleh sia-sia.

Pada hening dan sepi, aku bertanya, Dengan apa kuisi detikku ini.

Kerap datang rasa takut menyusup di hati,
Takut hidup ini terisi oleh sia-sia.

Tuhan kemana kami setelah ini,
Adakah Engkau dengar,
doaku ini...

Amin…Ya Robal Alamin


Lagu Detik Hidup memberi makna yang substansial akan pemahaman dan kesadaran kita terhadap arti ruang dan waktu.

Dalam ungkapan yang berbeda adalah, “ Waktu itu bersifat cuma-cuma, namun sangat berharga. Kita tidak bisa membelinya, namun bisa menggunakannya. Kita tidak bisa menyimpannya namun bisa mengubahnya. Sekali membuang sia-sia, tak bisa kembali mendapatkannya ”.

Sebagian orang mengibaratkan waktu adalah uang. Dan sebagian lainnya mengibaratkan waktu adalah sebuah pedang yang tajam. Jika kita tidak mampu memotongnya/ mempergunakannya dengan baik, bisa saja kita yang yang terpotong olehnya. Karena waktu berjalan terus tanpa henti, tak peduli anda melakukan kesalahan dan segera memperbaikinya atau tidak.

Lagu Detik hidup karya Iwan Abdulrachman ini pertama kali saya dengar saat mengikuti ESQ – Ary Ginanjar. Petikan gitar dan lagunya sungguh menyentuh kalbu.

Karena liriknya dan musiknya bagus, saya mengarsipkannya dalam blog ini. Sehingga dapat menjadi renungan pribadi maupun teman lain yang sempat membaca dan mendengarkan lagu ini.

Sehingga, kitapun takut hidup ini terisi oleh perihal yang sia-sia, yang tidak membawa manfaat bagi orang lain.
Dan, Bukan cinta dunia sehingga takut akan mati.


Salam,
HJK

Renungan Indah - W.S. Rendra













Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memujiku

Bahwa semua itu hanyalah titipan.
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya.


Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku ?

Mengapa hatiku justru terasa berat,
Ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah.
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka.
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja,
untuk melukiskan kalau itu adalah derita.


Ketika aku berdo’a, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku.


Aku ingin lebih banyak harta,
Ingin lebih banyak mobil,
Lebih banyak popularitas, dan…
Kutolak sakit,
Kutolak kemiskinan.
Seolah semua “ derita “ adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika.


Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.


Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
Dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas “ perlakuan baikku “.
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku.


Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk ibadah.
“ Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja “.



(Puisi terakhir Rendra yang dituliskan di atas ranjang)






Salam,


HJK