Kamis, 31 Januari 2013

Membeli Waktu

Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.

“Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya.

Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga keti...ka ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”

“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”

“Ah, enggak. Pengen tahu aja.”

“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja, Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.

“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya.

“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi.

Tetapi Imron tak beranjak.

Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?”

“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.”

“Tapi, Ayah…” Kesabaran Rudi habis.

“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Imron.

Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya, Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa. Jangankan Rp 5.000 ,- lebih dari itu pun ayah kasih.”

“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”

“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut.

“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Imron polos.

Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.

Rabu, 30 Januari 2013

6 Hal Yang Dapat Merusak Amal

Segala sesuatu ada perusaknya, demikian pula amal kebaikan, ada perusaknya.

Rasul Saw bersabda :" 6 (enam) perkara yg bisa melebur amal kebaikan :

Istighalu bi uyubil khalqi ( Sibuk mencari keburukan/aib orang lain).
Rasul Saw melarang kpd kita utk mencari2 keburukan orang lain, karena hal itu secara tidak langsung... telah membuka sesuatu yg seharusnya ditutupi, kecuali kalau memang tujuannya utk menegakkan keadilan .

Qaswatul qulub ( Keras Hati)
Keras hati apabila seseorang sudah tidak bisa menerima nasihat dari orang lain, bahkan menganggap remeh orang yg menasehatinya.
Sayyidina Ali kw berkata: "Lihatlah olehmu perkataannya dan jangan kau lihat siapa yg mengatakannya."

Hubbud dunya (Terlalu Cinta Dunia)
Cinta dunia tidak boleh berlebihan, karena kita tahu bahwa dunia hanyalah sementara.

Qillatul haya (Tidak punya rasa malu) Rasul Saw bersabda :"Malu dan Iman adalah bersatu, maka apabila dicabut salah satunya maka akan tercabut yg lainnya."(HR. Abu Nua’im)

Thulul amal (Panjang Lamunan / Khayalan) Allah Swt menganjurkan kpd kita supaya banyak berpikir disertai dgn usaha. Bukan berpikir dan berharap tapi tidak mau berusaha.

Dzalimu la yantahi (Kezaliman yg Tiada Henti) Kita dilarang oleh agama utk berbuat zalim.

Selasa, 15 Januari 2013

Kepercayaan Diri

Banyak orang pandai menyarankan agar kita memiliki suatu kepercayaan diri yang kuat.

Pertanyaannya adalah diri yang manakah yang patut kita percayai? Apakah panca indera kita?

Padahal kejituan panca indera seringkali tak lebih tumpul dari ujung pena yang patah.

Apakah tubuh fisik kita? Padahal sejalan dengan lajunya usia, kekuatan tubuh memuai seperti lilin terkena panas.
...
Ataukah pikiran kita? Padahal keunggulan pikiran tak lebih luas dari setetes air di samudera ilmu.

Atau mungkin perasaan kita? Padahal ketajaman perasaan seringkali tak mampu menjawab persoalan logika.

Lalu diri yang manakah yang patut kita percayai?

Semestinya kita tak memecah-belah diri menjadi berkeping- keping seperti itu. Diri adalah diri yang menyatukan semua pecahan-pecahan diri yang kita ciptakan sendiri. Kesatuan itulah yang disebut dengan integritas. Dan hanya sebuah kekuatan dari dalam diri yang paling dalam lah yang mampu merengkuh menyatukan anda.

Diri itulah yang patutnya anda percayai, karena ia mampu menggenggam kekuatan fisik, keunggulan pikiran dan kehalusan budi anda.